Menu
News
    Government
      Gaya Hidup
        Sosok
          Wisata
            Video
              Indeks
                About Us
                  Social Media

                  Tradisi Hari Penampahan Galungan Bagi Umat Hindu Dharma

                  Tradisi Hari Penampahan Galungan Bagi Umat Hindu Dharma Kredit Foto: Antara/Andreas Fitri Atmoko
                  WE Bali, Bali -

                  Penampahan Galungan, yang jatuh pada Selasa (3/1/2023), adalah hari raya umat Hindu Dharma yang berlangsung satu hari sebelum hari raya Galungan.

                  Pada hari Penampahan Galungan, segenap umat Hindu Dharma, terutama kaum pria, menyembelih (nampah) hewan dan mengolah daging untuk sarana upakara dan pesta. Secara niskala, penampahan bermakna menaklukkan sifat-sifat kebinatangan yang ada dalam diri manusia.

                  Setelah nampah dan mengolah daging selesai, dilanjutkan dengan upacara penyucian rumah, pekarangan dan anggota keluarga. Penyucian ini dilakukan untuk mengharmoniskan makrokosmos (bhuana agung) dan mikrokosmos (bhuana alit).

                  Baca Juga: Mengenal Galungan, Hari Raya Umat Hindu sebagai Perwujudan Kemenangan Dharma Atas Adharma

                  Selain nampah, umat Hindu Dharma juga mempersiapkan dan memasang penjor Galungan di depan rumah mereka.

                  Menetralisir Sang Bhuta Amangkurat

                  Menurut Nyonya I Gusti Agung Mas Putra dalam artikel berjudul Rangkaian Hari Raya Galungan (1987), Sang Kala Tiga turun dalam perwujudan Sang Bhuta Amangkurat.

                  Kekuatan Sang Bhuta Amangkurat, seperti namanya yang berarti “bhuta yang memangku dunia”, adalah menguasai segenap bhuana agung dan bhuana alit.

                  Ia berusaha untuk menggoda serta menaklukan manusia dengan kekuatan negatifnya, mendorong manusia untuk berbuat kekacauan dan kegiatan yang bertentangan dengan kebajikan (dharma).

                  Untuk menetralisir dan mengembalikan kekuatan Sang Bhuta Amangkurat menjadi kekuatan positif, umat Hindu melakukan upacara Bhuta yadnya di rumah dan dalam diri mereka, termasuk juga pusaka-pusaka yang dimiliki.

                  Diharapkan, Sang Bhuta Amangkurat kembali menjadi Sang Hyang Tiga Wisesa atau Sang Hyang Widhi Wasa sebagai pencipta, pemelihara, dan pelebur alam semesta beserta isinya.

                  Mengolah Daging

                  Pada hari Penampahan Galungan, umat Hindu Dharma mengolah daging, terutama babi, menjadi berbagai jenis olahan.

                  Umumnya, daging tersebut diolah menjadi lawar, urutan, dan jukut ares. Olahan yang dihasilkan menyesuaikan dengan daging yang didapatkan atau dibeli di pasar.

                  Lawar merupakan makanan yang dibuat dari campuran sayur-sayuran, umumnya nangka, kelapa, dan daging cincang yang digabungkan dengan bumbu dan rempah-rempah.

                  Urutan merupakan olahan sosis tradisional Bali yang dibuat dari daging cincang yang telah dicampur bumbu serta rempah dan dimasukkan dalam usus halus babi yang telah dibersihkan.

                  Sementara, jukut ares merupakan sayur yang menggunakan tulang (balung) iga babi dan pelepah muda pisang dengan tambahan berbagai jenis bumbu dan dimasak selama beberapa jam hingga kuah menguap (nyat) dan meresap.

                  Ketiga jenis olahan ini merupakan olahan wajib setiap keluarga Hindu Dharma setiap Penampahan Galungan.

                  Upakara Penampahan Galungan

                  Ada beberapa upakara yang umum dipersiapkan saat Penampahan Galungan. Upakara tersebut antara lain sebagai berikut. 

                  • Untuk di pekarangan rumah, halaman rumah dan pintu masuk rumah (lebuh) berupa: segehan agung dan nasi sasah berwarna putih, hitam, merah, berisi daging babi serta urab-uraban putih dan merah. Upakara ini dilengkapi dengan canang genten, canang biasa, tirtha, dupa, dan tetabuhan.
                  • Untuk anggota keluarga, upakara yang disiapkan adalah byakaya, prayascita, dan sesayut pemiyak kala.

                  Upakara yang dilaksanakan pada Penampahan Galungan dapat berbeda-beda di setiap daerah, mengikuti filosofi masyarakat Bali yakni sesuai dengan tempat, waktu, dan keadaan (desa kala patra) masyarakat.

                  Upacara pada hari ini diakhiri dengan ngayab dan natab, yang bermakna permohonan agar dilimpahkan karunia untuk seluruh anggota keluarga.

                  Penulis: Putu Prima Cahyadi
                  Editor: Lestari Ningsih

                  Bagikan Artikel: